OTO ISKANDARDINATA

Ditulis oleh: -
Misteri Si Jalak Harupat
Majalah Tempo Online

HARI itu, 26 Oktober 1945, Raden Ajeng Soekirah tak menyangka itulah terakhir kalinya ia berkumpul dengan sang suami, Oto Iskandar Di Nata, yang baru dua bulan menjabat Menteri Negara. Sejak aktif di parlemen Hindia Belanda (Volksraad), Oto memilih tinggal sendiri di Jakarta. Adapun keluarganya tetap di Bandung. Karena itu, ia pulang-balik Jakarta-Bandung setiap pekan.

Hari itu, Oto di tengah-tengah keluarganya. Sebuah telegram datang. Isinya: dia diminta segera menghadap Bung Karno. Oto segera angkat koper, meninggalkan kesepuluh anaknya dan Soekirah yang kala itu sedang hamil empat bulan. Tak ada pesan khusus yang ditinggalkannya saat pergi dari rumahnya di Jalan Kaca-kaca Wetan, Bandung. "Bapak pergi tergesa-gesa," kata Martini, 80 tahun, putri tertua Oto, mengenang kepergian ayahnya 62 tahun silam kepada Tempo.

Ayahnya, ujar Martini, mempunyai kebiasaan untuk menelepon mereka setiap pagi dari Jakarta. "Tapi, beberapa hari bapak tidak telepon-telepon," kata Martini. Empat hari kemudian, 31 Oktober, ibunya menelepon kediaman bapaknya di Jakarta. Di ujung telepon bukan Oto yang mengangkat, tapi Kiwan, penjaga rumah sewaan Oto di Jalan Kapas, Jakarta. Menurut Kiwan, setiba di Jakarta, Oto menerima telepon dari seseorang, lalu terburu-buru berangkat, dan sampai saat itu belum kembali.

Lima hari kemudian, Soekirah menelepon kembali. Suaminya tetap tak berkabar. Tapi kemudian datang sepucuk surat Oto tertanggal 31 Oktober 1945. Isinya, mengabarkan titipan pepes dari Bandung sudah diterima, tapi Oto juga menulis bahwa ia menghadapi masalah , tengah mendapat fitnah dari seseorang. "Euweuh deui djalan ngan pasrah kana kersana." (Tak ada jalan selain pasrah atas kehendaknya). Soekirah tetap tak tahu keberadaan suaminya.

Oto-48 tahun hilang. Pemerintah secara resmi baru menyatakan Menteri Negara Oto Iskandar Di Nata "hilang" pada 20 Desember 1945. Raibnya Si Jalak Harupat-burung jalak yang tajam lidahnya-julukan untuk Oto karena kritiknya yang pedas terhadap pemerintah Belanda di Volksraad, merupakan kasus "orang hilang" pertama setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

l l l

TIGA belas tahun kemudian, pada 3 Agustus 1958, sebuah sidang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta. Seorang polisi berpangkat brigadir, Mudjitaba bin Markum, diajukan ke depan hakim. Pria 39 tahun yang sehari-hari berdinas di Kepolisian Bogor itu menjadi terdakwa tunggal perkara pembunuhan Oto Iskandar dan Hasbi bin Haji Nasimun.

Pada zaman Jepang, Mudjitaba seorang pengangguran. Setelah Proklamasi, ia diangkat Haji Achmad Chaerul (belakangan menjadi Bupati Tangerang), Dodo Mihardja, Mochamad Taba, dan Muchtar Brat-jawara-jawara yang menjadi tokoh-tokoh laskar di Tangerang-sebagai Wakil Ketua Laskar Hitam. Para jawara ini juga duduk di kursi direktorium, dewan kelaskaran di Tangerang.

Selain Wakil Ketua Laskar Hitam, Mudjitaba juga diangkat jadi Wakil Ketua Bagian Penyelidikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) Tangerang. Salah satu tugasnya mengawasi gerak-gerik anggota laskar yang kerap dilaporkan melakukan pemerasan dan perampokan.

Dalam dakwaannya, jaksa R. Prijatna Abdurrasjid menguraikan perbuatan Mudjitaba. Menurut jaksa, pada 20 Desember 1945, sekitar pukul 18.30, di pantai Ketapang Distrik Mauk, Kabupaten Tangerang, Mudjitaba membacok leher Oto Iskandar dan pundak Hasbi. Semua dilakukan dari belakang. Lalu, Mudjitaba menghasut penduduk untuk ikut membacok dan memukuli Oto dan Hasbi. Keduanya tewas dan jenazah mereka lalu dibuang ke laut.

Jaksa menjerat Mudjitaba dengan dakwaan berlapis. Pertama, melakukan pembunuhan, penghasutan, dan penganiayaan yang membuat tewasnya Oto dan Hasbi. Kedua, bersekongkol dengan Mukri, Mail, Lampung, dan Usman dalam penculikan Oto dan Hasbi, lantas dengan sengaja melenyapkan nyawanya. Jaksa menuntut Mudjitaba 20 tahun penjara.

Di persidangan, Mudjitaba menyangkal membunuh Oto dan Hasbi. Pengacara Mudjitaba, Harjono Tjitrosoebono, menyatakan polisi telah menyiksa kliennya selama pemeriksaan agar mengaku seperti yang diinginkan pemeriksa. "Saya disiksa. Kaki saya disepak polisi sampai korengan," kata Mudjitaba di depan hakim tunggal Raffli Rasjad.

Mudjitaba mengaku cuma diperintah direktorium menjemput Hasbi yang ditahan di tahanan Tanah Tinggi serta satu "orang penting" yang ditahan di Asrama Polisi Tangerang. Menurut Mudjitaba, setelah persidangan direktorium selesai, ia diperintah seorang bernama Sumo, membawa kedua "tawanannya" ke rumah tahanan Mauk.

Mudjitaba mengaku hanya mengenal Hasbi dan tidak mengenal "orang penting" itu. Kepada hakim ia mengatakan, yang ia tahu "orang penting" tersebut berasal dari Bandung, berbadan tinggi besar, dan setengah tua. "Wajahnya tertutup topi," kata Mudjitaba. Ia mengaku lupa siapa saja yang diajaknya saat itu, jenis dan nomor mobil yang ditumpanginya, juga nama sopirnya. Pengakuan Mudjitaba ini membuat hakim Raffli naik pitam. "Kalau tahu umur, berarti tahu wajahnya. Apa kamu tidak punya ingatan?" katanya.

Menurut Mudjitaba, setelah tiba di Mauk, kedua orang itu diserahkan ke Djumadi, kepala penjara Mauk. Dua hari kemudian, ia disuruh Mohamad Tabii, Kepala Bagian Penyelidik Badan Keamanan Rakyat, kembali ke Mauk. Ada laporan kedua tahanan itu sudah dibunuh. Ia memperoleh informasi, memang ada pembunuhan terhadap dua orang di pantai Ketapang dua hari sebelumnya. "Kedua orang ini dibunuh laskar rakyat atas perintah Sumo, Ketua Laskar Hitam," kata Mudjitaba di depan sidang.

Namun, dari belasan saksi yang dihadirkan, sebagian besar memberatkan Mudjitaba. Menurut A. Kawi, seorang anggota Badan Keamanan Rakyat, ia mendapat perintah dari Mudjitaba untuk mengambil Oto dan Hasbi dari penjara Mauk. Ketika kedua tahanan itu digelandang keluar, keduanya telanjang dan tangannya terikat. Oleh Mudjitabakeduanya dibawa ke pantai Ketapang.

Sampai di pantai Ketapang, menurut Kawi, massa sudah berkumpul dengan membawa senjata tajam. Mudji bertindak sebagai pemimpin "acara", bertelanjang dada, celana digulung, dan tangannya menggenggam golok. Kawi sempat mendengar suara Oto. "Nak, saya jangan dimatiin, saya orang baik." Tapi, perkataan itu dijawab riuh teriakan massa: "Mata-mata! Kamu yang jual kota Bandung satu miliun (Rp 1 juta)." Lalu, pembunuhan itu pun terjadi dengan cepat.

l l l

PENGUSUTAN hilangnya Oto diperintahkan sendiri oleh Bung Karno. Namun, perkara itu tidak terang seketika. Mudjitaba sendiri, ditahan dua kali. Mudjitaba divonis sembilan tahun penjara dan kemudian mendekam di penjara Cipinang.

Saat persidangan, Soekirah juga dipanggil sebagai saksi, namun tak banyak yang bisa disampaikan wanita ini. Yang pasti, hingga detik ini, keluarga Oto yakin Mudjitaba bukanlah pelaku sesungguhnya. "Ada orang lain lagi yang seharusnya bertanggung jawab," kata Martini pada Tempo.

Menurut R Prijatna, kini 78 tahun, memang sejumlah misteri menyelimuti kasus Oto. "Kenapa dia dibawa ke Tangerang?" katanya kepada Tempo. Tangerang dan Bekasi, kata Prijatna, di masa revolusi dikenal "daerah maut". Laskar-laskar di tempat itu dipimpin para jawara yang tak segan-segan membunuh siapa pun yang mereka anggap salah.

Menurut Prijatna ada dugaan lain, bahwa Oto diambil sejak dari Bandung. "Oto diculik sejak dari Bandung. Ia dijebak laskar, tapi tidak terungkap siapa otak pelakunya," kata Prijatna.

Sejumlah nama yang disebut Mudjitaba saat itu dalam sidang tetap membantah terlibat pembunuhan Oto. "Mudji akhirnya dihukum karena bertindak sendiri," kata Prijatna, mantan jaksa yang kini menjadi ahli hukum antariksa itu.

Sumber : Majalah Tempo Online

0 komentar "OTO ISKANDARDINATA", Baca atau Masukkan Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer